Sungai Brantas merupakan salah satu
sungai terpanjang di Jawa yang terletak di Desa Sumber
Brantas (Kota Batu), Jawa Timur. Panjang sungai utama 320 km dengan daerah aliran seluas ± 12.000km2,
atau kurang lebih seperempat luas wilayah propinsi Jawa Timur. Curah hujan rata-rata mencapai 2.000 mm per-tahun.
Kondisi aliran air Kali Brantas juga terkendala oleh endapan sedimen yang
dihasilkan letusan Gunung Kelud (+1.781). Setiap 10 hingga 15 tahun, gunung ini
meletus melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian tengah dari DAS Kali
Brantas.
Sungai Brantas yang pada awalnya digunakan untuk
mengairi areal persawahan sekarang beralih fungsi untuk irigasi dan dikonsumsi
untuk air minum warga di daerah sekitarnya, karena pemukiman di daerah
pinggiran sungai beberapa tahun belakangan ini semakin meningkat atau padat.
Penduduk di wilayah sungai Kali Brantas mencapai 15,2 juta orang (1999) atau
43% dari penduduk Jatim dan mempunyai kepadatan rata-rata 1,2 kali lebih tinggi
dibandingkan rata-rata kepadatan penduduk Jatim. Semakin padatnya pemukiman
maka tidak menutup kemungkinan bahwa sungai Brantas telah tercemar, untuk
mengetahui kondisi sungai tersebut dapat diidentifikasi dengan beberapa aspek yaitu
aspek fisik, aspek biologi dan aspek kimia.
1.
Aspek Fisik
Dilihat dari
aspek fisiknya Sungai Brantas mempunyai tingkat kekeruhan yang cukup tinggi.
Kercepatan arus yang cepat sekitar 0,5-1 m/s dan kecepatan arus lambat sekitar
0,15-0,5 m/s. Temperaturnya sedang kurang lebih 300 C sehingga
memungkinkan untuk hidupnya organisme.
2. Aspek Biologi
Spesies
kerang air tawar yang ada di perairan Sungai Brantas adalah Contradens
contradens (Lea, 1838), Elongaria orientalis (Lea, 1840), Rectidens sumatrensis
(Dunker, 1852), dan Corbicula lacunae (Djajasasmita, 1977). Terdapat pula
berapa jenis ikan yang sekarang sudah hampir punah dan fitoplankton juga ada.
Sekitar sungai atau di pinggiran terdapat pohon-pohon rindang yang saat ini
keberadaanya juga hampir punah karena banyaknya pemukiman.
3. Aspek Kimia
Sungai brantas dilihat dari aspek fisiknya menunjukan
adanya pencemaran, dilihat dari aspek kimia yang diperoleh dari beberapa sumber
yang telah melakukan penelitian kadar DO
berkisar antara 3,8-12,5 mgO2 , juga mengandung orthofosfat,amonia,
silikat yang relatif rendah. pH air masih normal berkisar antara 7-9.
4. Penggunaan Sungai Brantas
Dari aspek
sosiokultur, Sungai Brantas mempunyai fungsi dan arti penting yang dirasakan
secara langsung oleh masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai tersebut
dan masyarakat Jawa Timur secara tidak langsung. Warga sekitar sungai sering
memanfaatkan untuk pangairan sawah atau irigasi, dikonsumsi atau untuk minum
dan memasak serta digunakan juga untuk mencuci. Sungai Brantas juga
dimanfaatkan untuk mencari bahan makanan seperti memancing ikan sehingga
keberadaanya sangat menbantu warga . Sedangkan dari aspek ekologi, perairan
Sungai Brantas merupakan tempat hidup atau habitat bagi berbagai jenis
organisme perairan tawar mulai dari organisme berukuran makro hingga mikro baik
hewan vertebrata maupun invertebrata yang hidup sebagai plankton, nekton, dan benthos
(Handayani dkk., 2001; Arisandi, 2008).
Dari beberapa
sumber yang telah melakukan penelitian ditemukan, sumber-sumber
pencemaran air Sungai Brantas antara lain berasal dari limbah industri, limbah
domestik dan air buangan dari saluran irigasi dan drainasi. Pada DAS Brantas
bagian hulu sumber pencemaran yang utama berasal dari limbah domestik (rumah
tangga dan pertanian/alami). Masukan bahan organik ke dalam perairan mempunyai
akibat yang sangat komplek, tidak hanya deoksigenasi dalam air, tetapi dapat
terjadi penambahan padatan tersuspensi, bahan beracun seperti amonia, sulfida
atau cyanida serta pengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan komunitas biologi
dalam hal ini adalah makrobentos.
Jika
keadaan Sungai ini tidak diperbaiki atau ditangani maka beberapa tahun ke
depan sungai ini tidak layak untuk
dikonsumsi lagi dan jika padatnya pemukiman di sekitar sungai tidak bisa
dikendalikan maka luas wilayah sungai akan berkurang atau menjadi sempit dan
volume airnya juga akan berkurang karena semakin banyaknya bangunan otomatis akan mengurangi tumbuhan yang ada
disekitar sungai yang berfungsi untuk meyerap air, pada musim penghujan akan
terjadi banjir dan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan.
Sumber :
http://student-research.umm.ac.id/index.php/dept_of_civil_engineering/article/view/1506
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11992/C09dwu.pdf